Filolog amatir dan penafsir pemula naskah klasik. Pembaca yang sekadar tahu bahwa aksara menyimpan politik simbol yang mendalam.
Geguritan Mantri Jawa: Refleksi di Balik Pelayaran Kapal Dagang
Rabu, 9 April 2025 12:55 WIB
Ini adalah cerita Panji yang dibalut pelayaran niaga. Pelayaran ini tak tercatat di pelabuhan mana pun, namun tetap abadi dalam sastra.
***
Ada banyak jenis pelayaran dalam hidup. Ada yang bertujuan bisnis, ada pula yang bertajuk pelarian. Ada yang membawa penuh barang dagangan, ada pula yang diam-diam membawa cinta yang belum sempat dibungkus restu. Kini saya akan berbicara tentang sebuah kisah dari sebuah karya sastra Bali berjudul Geguritan Mantri Jawa. Sastra ini dipengaruhi kisah Panji: sebuah Ingatan Kolektif Dunia UNESCO. Karya Geguritan Mantri Jawa ini disusun dalam bentuk pupuh dan bisa ditembangkan. Sumbernya ada dalam bentuk naskah lontar.
Dalam Geguritan Mantri Jawa, kita dihadapkan pada jenis pelayaran yang dimulai dengan alasan bisnis, namun sebenarnya berisi niat romantis. Premisnya sederhana, pangeran tampan bernama Raden Mantri (Panji), melakukan petualang mencari cinta sejati. Ia pun harus pergi ke seberang pulau, yakni Bali.
[Bukan] Pelayaran Dagang
Raden Mantri Jawa adalah versi klasik pemuda yang terlalu susah diajak serius oleh orang tuanya, apalagi urusan jodoh. Berkali-kali dipancing dengan pilihan pasangan hidup, Raden Mantri hanya geleng kepala. Semua berubah ketika seorang kakek bertapa memberikan spoiler bahwa di seberang laut sana, tepatnya di Bali, ada seorang putri bernama Pancar Cinamburat, yang kecantikannya tak perlu diragukan.
Cinta kadang memang butuh sandiwara. Raden Mantri pun mengaku hendak berdagang ke Bali. Kapal disiapkan, barang komoditas dinaikkan, dan seolah-olah semua itu bukan demi mengejar rasa penasaran pada seorang gadis. Bendera sutra merah dinaikkan, orang-orang menyangka ini ekspedisi ekonomi, padahal sesungguhnya ekspedisi emosi.
Geguritan ini tidak hanya menghadirkan laut sebagai ruang geografis, tetapi juga sebagai lanskap batin. Ketika Raden Mantri dan rombongannya melintasi samudra, digambarkanlah bila laut berubah menjadi galeri puisi visual. Karang tampak seperti candi, pulau kecil terlihat seperti gajah mandi, dan air laut seolah menyatu dengan langit. Dalam pelayaran inilah Raden Mantri bukan hanya bergerak menuju Bali, tapi juga bergerak ke dalam dirinya sendiri. Pasangan yang selama ini ditolaknya dengan kalimat “nanti dulu” kini dia cari sendiri melintasi angin laut dan buih ombak, yang sekaligus menampar-nampar kesadarannya.
Bukankah cinta kadang memang seperti pelayaran? Kita tak pernah tahu kapan badai datang atau ombak menepi. Tetapi bagaimana pun kita tetap harus memilih berlayar, karena diam di pelabuhan akan terlalu menyiksa bagi mereka yang diam-diam merindukan pelukan di seberang lautan.
Setibanya sang pangeran di Bali, segalanya berjalan sesuai rencana. Raja Bali senang, pelabuhan ramai, dan dagangan diserbu. Mungkin pula di antara kerumunan itu, barang dipandang-pandang meski lebih banyak yang hanya bertanya harga tanpa niat membeli. Titik yang tak terduga oleh tokoh, namun bisa pembaca duga dari awal adalah pertemuan mata antara Raden Mantri dan sang putri Bali, Pancar Cinamburat. Tatapan tidak bisa didiskon, dan perasaan yang tidak bisa ditawar.
Setelah itu, Raden Mantri dijamu sebagai tamu. Kala itu ia mulai berakting, pura-pura sakit dengan dalih hanya bisa sembuh bila ditemani sang putri. Inilah puncak strategi yang tak diajarkan di sekolah ekonomi: memadukan tipu daya diplomatik dengan rayuan halus berbumbu dramatik.
Dan sebagaimana setiap romansa klasik membutuhkan sedikit kepalsuan untuk mengutarakan kejujuran, Raden Mantri mengajak sang putri untuk kabur diam-diam.
Putri yang Tertinggal
Seperti sinetron berdurasi panjang, kisah ini tak berakhir mulus. Raden Mantri yang sudah mengembangkan layar dan berlayar kembali, diam-diam berputar balik saat malam tiba, berharap sang putri datang sesuai janji. Sayangnya, malam tidak selalu bersahabat dengan cinta. Raden Dewi terlelap tidur. Ya, cinta kadang dikalahkan oleh kantuk yang memang alamiah dialami manusia.
Raden Mantri pun berlayar kembali dengan tangan kosong, sementara Raden Dewi bangun dan menemukan pelabuhan telah sunyi, seperti ruang hati yang ditinggalkan diam-diam. Tangis pun pecah, dan dalam tangis itu lahirlah kaul, yang kemudian dijawab mukjizat: laut terbelah, dan ia mampu berjalan mengejar cinta yang telah pergi. Sebuah pemandangan yang bukan hanya spektakuler, tapi juga sarat nilai spiritual, ketika cinta yang tulus mampu membuat semesta membuka jalannya sendiri.
Epilog
Geguritan Mantri Jawa adalah romansa yang menyamar sebagai kisah dagang, dan laut yang menyamar sebagai cermin batin. Semua itu adalah satu: pelayaran kepo yang kemudian berbuah cinta. Kapal yang berlayar dalam geguritan ini tidak hanya bergerak di atas air, tapi juga menyusuri lorong-lorong hati pencari cinta sejati. Mungkin, dalam beberapa kasus cinta yang paling dalam, hanya bisa disampaikan lewat layar yang terkembang dan samudra yang luas.

Pembaca-pendongeng sastra Jawa Kuno dan Bali
0 Pengikut

Bajak, Tikus dan Adu Absurditas
Selasa, 2 September 2025 14:32 WIB
Deru Ombak dan Darah Menggenang: Gaya Bahasa tentang Laut dalam Babad Bali
Rabu, 21 Mei 2025 07:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler